Amang
Mandur (Asal Mula Upacara Kematian Dayak Maanyan)
Sebelum diberlakukannya hukum penyelenggaraan upacara kematian
di kalangan Suku Dayak Maanyan, kematian hanya dianggap sebagai perpindahan
dari dunia fana ke dunia baru. Suatu dunia yang lebih menyenangkan, hak milik
pribadi atau sempurna oleh sebab itu orang Maanyan menyebutnya Tatau Matei(tatau:kaya, matei:mati). Jadi menurut mereka
kematian hanyalah hal biasa saja yang dinamakan tulak miidar; miidar jalan; ngalih panguli hengka marunsia(pergi
pindah; pindah jalan; mengalihkan kaki dari manusia) begitu sederhananya konsep
kematian menurut mereka saat itu.
Konsep kematian seperti sekarang datang akibat dari perbuatan
dan keinginan manusia itu sendiri. Ada sumber lisan yang tumbuh dan berkembang
serta dipercayai oleh mereka yang terus menceritakan turun temurun.
Di zaman kehidupan tradisional Dayak Maanyan berlangsung ada
seorang yang bernama Amang Mandur. Hidupnya serba kecukupan dan berlebihan oleh
sebab itu ia diberi gelar Damang Datu Tatau. Amang Mandur ini mempunyai 7 orang
isteri yang sangat setia kepadanya bernama Ine Lean, Ine Leo, Apen Payak, Apen
Kangkuyu, Apen Kangkuyak, Dayang Manget dan Patiri Untu. Namun kekayaan yang
serba kecukupan ini masih belum memberi kepuasan batin bagi hidupnya, ia sangat
rindu untuk pergi ke dunia lain yang baru yaitu dunia yang diperuntukkan bagi
mereka yang telah tatau matei. Keinginan yang begitu kuat ia beritahukan kepada
semua istrinya bahwa kini telah tiba waktunya ia akan tatau matei. Pernyataan
ini sangat mengherankan para istrinya karena usia Amang Mandur belum terlalu
tua dan masih segar bugar. Tetapi karena keinginan ini diungkapkan dengan
sungguh-sungguh mereka pun lalu mempercayai seraya mempersiapkan semua upacara
pemberangkatan.
Setelah seluruh perlengkapan tatau matei sudah siap, mulailah
Amang Mandur melangkah keluar rumah. Tetapi yang terjadi tubuh Amang Mandur
tidak menghilang seperti kejadian tatau matei lainnya. Kejadian yang aneh itu
dibiarkan oleh orang kampung, Amang Mandur terus berjalan semakin jauh memasuki
hutan belantara sekelilingnya. Sehari semalam sudah berlalu tiba-tiba keesokan
harinya Amang Mandur muncul dengan tertatih-tatih dan lemah lunglai naik ke
atas rumah, hal ini tentu sangat mengejutkan para istrinya. Kemudian Amang
Mandur bercerita bahwa ia tidak bisa menemukan jalan menuju dunia baru.
Salah seorang istrinya mengatakan bahwa peristiwa tatau matei
tidak bisa dipercepat karena perasaan itu akan datang sendiri bila sudah tiba
waktunya. Sejak saat itu Amang Mandur nampak sedih dan tidak bergairah
menjalani hidup lebih lama lagi di dunia fana ini. Kerinduannya akan tatau
matei rupanya begitu kuat dan sangat mempengaruhi hidupnya.
Akhirnya istrinya yang keenam Dayang Manget merasa kasihan lalu
menyatakan pada suaminya bahwa ia mempunyai kekuatan untuk mendatangkan tatau
matei tapi secara tidak wajar. Adapun caranya adalah dengan mendengar
tangisannya terus menerus. Sebagai bukti ia akan menangisi pohon kelapa, Dayang
Manget pun menghadap pohon kelapa tersebut lalu mulai menangisinya. Setelah ia
menangis sementara orang selesai menyiapkan sirih kinangan (erang kemapit empa)
mulailah berguguran buah pohon kelapa. Dan ketika ia menangis waktu orang mulai
menginang (erang ka empa) daun-daun kelapa sudah layu semua berguguran.
Kemudian saat ia menangis selama waktu orang menanak nasi (erang ka pangndru)
keringlah pohon kelapa itu dan mati.
Dengan menyaksikan itu Amang Mandur bersedia ditangisi Dayang
Manget asal ia bisa cepat pergi ke dunia baru yang diimpikannya. Amang Mandur
pun mulai berbaring lurus lalu istrinya yang ketujuh bernama Patiri Untu
membentangkan kain khusus dengan tali setinggi kira-kira 2,5 meter tepat di
atas suaminya, kain ini nantinya akan dinamakan lalangit (sampai sekarang lalangit ini dibuat saat
mayat berada di dalam rumah, baru dilepas kalau mayat sudah dikubur).
Pada saat itulah Dayang Manget menangisi suaminya dan tak lama
Patiri Untu menanyai bagaimana keadaan suaminya, Amang Mandur menjawab
kepalanya pusing sekali. Dayang Manget terus menangisinya, mulai ujung kaki
terasa dingin dan perlahan-lahan terus menjalar ke bagian atas tubuh sampai
kepala. Tak lama sesudahnya ternyata suaminya sudah tidak bernyawa lagi. Inilah
yang nantinya akan disebut tatau matei neng bangkai (mati
meninggalkan mayat). Kematian Amang Mandur ini merupakan kematian pertama yang
mayatnya tidak hilang.
Dengan adanya kematian yang tetap meninggalkan mayat inilah
akhirnya menimbulkan hukum untuk melangsungkan upacara kematian yang berkenaan
dengan pengurusan mayat yang ada serta sebagai pengantar jalan bagi roh yang
meninggalkan tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar